ILMU SOSIAL DASAR#
(Task 4)
Nama
: Michael Surya A R
Kelas
: 1IA05
NPM
: 56414635
Tema: Penerapan dan pelanggaran
hukum yang terjadi di Negara Indonesia.
Judul:
Penerapan Hukuman Mati
adalah
Pelanggaran HAM dan
Konstitusi
Komisi bagi Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan kembali diterapkannya hukuman mati. Sebagian
besar untuk kasus pidana narkoba dan terorisme- yang belum dieksekusi, bila
mengacu pada data dari Jaksa Agung RI.
Sebagai salah satu organisasi HAM
di Indonesia, Kontras menentang keras pelaksanaan hukuman mati (death
penalty/capital punishment). Ada 2 alasan dasar mengapa KontraS menolak hukuman
mati. Pertama , atas dasar prinsip
hukum HAM yang mengutamakan nilai
kemanusian di atas hukum positif apa pun. Kedua , atas dasar realitas politik
hukum di Indonesia yang masih tidak netral dan korup.
Atas dasar prinsip
kemanusiaan yang tercantum dalam berbagai hukum/perjanjian HAM
internasional -di mana Indonesia juga menjadi negara pesertanya- hukuman mati
harus ditolak dalam hal:
1. Hukuman mati merupakan jenis
pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup
( right to life ). Hak fundamental ( non-derogable
rights ) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi,
atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat,
perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut
menandatangani Deklarasi Universal HAM dan beberapa waktu lalu Presiden
SBY telah berkomitmen akan menandatangani Kovenan Internasional Hak Sipil
Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap
manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.
2. Hukuman mati memiliki turunan
pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak
penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena
umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah
meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti
Penyiksaan No.5/1998.
3. Penerapan hukuman mati di
Indonesia juga bertentangan dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di
dunia saat ini.
Atas dasar pertimbangan
politik hukum di Indonesia, hukuman mati harus ditolak
karena:
1. Karakter reformasi hukum positif
Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial,
dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar
peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati
Sengkon dan Karta yang lampau di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat
kita.
2. Dari kenyataan sosiologis, tidak
ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya
hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan
efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya
3. Praktek hukuman mati di
Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati
tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya
umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku
korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan
merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati.
4. Penerapan hukuman mati juga
menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen
pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia.
Padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai
perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada
beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan
pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua)
menyatakan:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
5. Sikap politik pemerintah
terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa waktu lalu pemerintah
mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi untuk tidak
menjalankan hukuman mati kepada Kartini, seorang TKW, dengan alasan
kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra
Utara tahun lalu dan Astini kemarin ini.
Berdasarkan uraian diatas tersebut
KontraS mendesak:
- Untuk menghentikan berlangsungya eksekusi bagi
terpidana hukuman mati dalam waktu dekat, perlu adanya upaya intervensi
politik dari Presiden.
- Secara strategis jangka panjang, perlu
dilakukan pencabutan hukuman mati di berbagai produk hukum
Indonesia, mulai dari KUHP hingga UU yang relevan.
- Presiden harus segera menandatangani/mengaksesi
Kovenan Internasional Sipil Politik, berikut kedua Protokol
Tambahannya (Optional Protocol I & II).
- Menyerukan kepada masyarakat luas untuk membuat
petisi menolak pemberlakuan hukuman mati ke Presiden/DPR.
Sumber: